Soal Curang dan Nyontek di Dunia Pendidikan, Ini Pendapat Pakar UGM
Fenomena menyontek dan berbuat curang dalam dunia pendidikan seakan menjadi masalah klasik yang tak kunjung usai. Meski berbagai upaya penegakan integritas telah di lakukan, praktik kecurangan tetap marak di jumpai — dari bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Lalu, bagaimana pandangan akademisi terhadap persoalan ini?
Dalam sebuah diskusi yang di adakan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM), sejumlah pakar pendidikan menyampaikan keprihatinannya, termasuk Dr. rer. nat. Heri Hermansyah, salah satu dosen senior di bidang pendidikan karakter dan integritas akademik.
Akar Masalah: Bukan Sekadar Moral Individu
Menurut Dr. Heri, menyontek tidak selalu berakar pada “moral bejat” siswa atau mahasiswa. Ia menekankan bahwa kecurangan akademik lebih sering muncul dari sistem pendidikan yang terlalu menekankan hasil akhir di bandingkan proses belajar itu sendiri.
“Ketika orientasi pendidikan hanya soal nilai dan rangking, maka siswa akan cenderung mencari jalan pintas untuk mencapainya, termasuk dengan menyontek,” ujar Heri.
Ia menambahkan bahwa dalam sistem yang kompetitif dan menekan, siswa cenderung lebih takut gagal ketimbang memahami materi. Kondisi ini menciptakan budaya ketakutan dan tekanan berlebih yang mendorong munculnya perilaku curang.
Lingkungan Turut Membentuk
Pakar lain dari UGM, Dr. Retno Mulyani dari Fakultas Psikologi, menyatakan bahwa perilaku curang juga bisa di turunkan dari budaya yang lebih luas — termasuk dari rumah, lingkungan sosial, bahkan dunia kerja yang penuh kompromi terhadap etika.
“Jika di masyarakat, orang sukses di anggap pintar karena bisa ‘mengakali’ sistem, maka anak-anak akan meniru itu. Pendidikan tidak bisa di lepaskan dari konteks budaya yang lebih luas,” jelas Retno.
Teknologi: Pisau Bermata Dua
Dalam era digital, teknologi yang semestinya membantu proses belajar justru kerap di manfaatkan untuk berbuat curang — seperti menggunakan ponsel saat ujian, aplikasi AI untuk membuat tugas, hingga membeli skripsi jadi. Menurut pakar UGM, solusi bukan dengan melarang teknologi, tetapi membekali siswa dengan pemahaman etis dan tanggung jawab dalam penggunaannya.
Solusi dari UGM: Pendidikan Karakter dan Sistem Evaluasi yang Adil
Sebagai kampus yang menjunjung nilai-nilai kejujuran akademik, UGM mengembangkan berbagai program berbasis integritas, mulai dari kuliah etika, sistem anti-plagiarisme, hingga pembinaan mental mahasiswa.
Dr. Heri menegaskan pentingnya reformasi sistem evaluasi yang tidak semata-mata berbasis ujian akhir. Ia menyarankan agar penilaian lebih menekankan pada proses, diskusi terbuka, proyek kolaboratif, dan refleksi pribadi.